Minggu, 28 Juni 2015

CATATAN KULINER PURBA

CATATAN KULINER PURBA

Chye Retty Isnendes
Telah lama sekali saya mengetahui tentang pakis yang bisa dimakan dengan cara disayur. Bahkan membacanya dalam resep-resep makanan Nusantara. Akan tetapi, belum pernah sekalipun saya kawenehan menemukan pakis tersebut di pasar Bandung, terutama di pasar KPAD, Parongpong, dan Lembang yang biasa saya kunjungi. Oleh karena itu, saya hanya bermimpi saja tentang sayur pakis (paku) tersebut.

Kalaulah perempuan hamil, mungkin saya terus mengidam tentang pakis  tersebut. Saya selalu mencari tahu orang tua saya dulu suka masak atau tidak tentang hal itu. Kata Ua saya, dulu iya Ema (nenek saya) suka masak pakis. Tapi sekarang, tangkal pakisnya juga hampir hilang. Kebun tegalan yang sebegitu luasnya tidak lagi menghasilkan pakis. Ya satu atau dua masih ada, tapi pakis yang tidak bisa dimakan.
Saya sempat berpikir, mungkin di pasar-pasar tradisional Bogor, pakis masih bisa ditemukan. Atau di swalayan-swalayan yang menyediakan keperluan untuk kuliner, pakis masih bisa ditemukan –dunia kan sudah terbalik.

Teman di FB yang orang Ciamis, sempat menawarkan, apabila saya ke Pangandaran singgahlah barang sebentar ke rumahnya, nanti akan dijamu dengan sayur pakis, katanya. Ya Allah, beuki kabita saja saya akan sayur tersebut. Sayang, ketika di Pangandaran, beliau tidak OL dan di info FB-nya tidak meninggalkan nomor yang bisa dihubungi (nuju mudik, Ceu?), ya kemudian saya melanjutkan mimpi lagi tentang pakis.
Esoknya di Pangandaran, adik ipar menjamu saya dengan sayur yang sungguh asing di lidah saya. Ketika saya tanyakan, dia menjawab, sayur pakis. Masya Allah, saya kaget bukan kepalang. Perasaan apa dalam benak, saya tidak bisa menjabarkannya. Yang jelas, saya sangat bersyukur akhirnya bisa merasai sayur pakis.

Karena penasaran dengan daun pakisnya, saya minta suami membelikan barang dua ikat daun pakis di pasar Pangandaran. Tanggal 14 September 2010 mungkin waktu yang bersejarah buat saya, karena saya akan membuat sayur pakis dengan bumbu yang nge-blank, tanpa resep masakan tanpa tahu bumbu apa yang harus saya siapkan tapi setidaknya saya punya pengalaman merasakan sayur buatan adik ipar. Saya pikir, saya bisa eksplor bumbu.

Subuh-subuh setelah sholat, saya siap memasak. Bismillah, daun pakis saya amati, elukkannya saya rabai, daun mungilnya saya rasai dengan segenap jiwa saya. Pikiran saya kumalayang ke masa silam. Terbayang ibukota Kerajaan Sunda, Pajajaran, di wilayah Barat yang tiap sisi jalan menuju ke arahnya dihiasi pohon pakis yang ngajajar. Terbayang ibukota Kerajaan Sunda, Kawali, di wilayah Timur juga dihiasi pohon-pohon pakis. Terbayang penduduk Kerajaan Sunda yang memanfaatkan pohon-pohon pakis ini untuk teman nasi. Ya, bayangan-bayangan manusia masa kini yang tidak mengalami sendiri pengalaman itu. Mungkin hanya imaji, mungkin hanya interpretasi, atau kegilaan seorang yang neurosis akan keindahan masa lalu yang mungkin sama sekali tidak indah.

Tak sadar saya ngemat Raja Sunda, entah yang mana, benak saya noroweco bahwa saya akan memasak daun pakis ini. Daun pakis yang muncul dari masa silam, masa purba, yang mengandung muatan sejarah dan budaya. Daun pakis yang menjadi motif pekakas para lelaki dan motif sisi-sisi jamang (baju) dan motif batik kain yang dibuat para wanita.

Daun pakis/paku jajar memancar pada seni kriya, memancar pada desain, memancar pada penataan taman, memancar pada seni interior dan eksterior tiang-tiang pancang kerajaan, memancar pada kuliner Sunda heubeul yang hidup sampai sekarang.

Saya sangat bangga memasak daun pakis ini. Walau sembarang orang bisa memasaknya dengan sangat lezat, tapi mungkin mereka tidak mempunyai kesadaran akan kesejarahan seperti saya muatkan pada masakan saya. Inilah mungkin yang disebut muatan semiotik yang dikatakan Barthes sebagai pemaknaan mendalam.

Bumbu-bumbu saya racik sendiri, bumbu khusus sambel cikur ditambah potongan ikan asin jambal Pangandaran, pertemuan gunung dan lautan saya aduk di wajan. Ya, untuk jurumasak tak berpengalaman dan jarang masak seperti saya, sajian akhir sayur pakis ini, menjadi lumayanlah. Walaupun kata dahuan, daun pakis ini ditumis biasa juga enak, apalagi ditambah udang dan dibanjur santan, tentu sedap sekali.

Sayangnya di dapur tidak ada combrang. Kalau ada, lengkap sudah kuliner purba dimasak dengan bumbu purba juga –combrang dalam sastra Sunda kuno adalah tanaman bumbu yang diperebutkan paman Lengser Kerajaan Pajajaran dan Lengser Kerajaan Muaraberes, karena istri raja dari kedua kerajaan tersebut sedang hamil muda dan mengidamkannya untuk membumbui rujak.

Yang terpenting dari semua ini, saya mempunyai kesadaran dalam aktivitas saya. Kesadaran sejarah dan budaya, mungkin. Dan kesadaran itu pula yang membuat masakan saya lebih bernilai –walau kata Si Akang, sayur pakis saya rasanya … sedikit sama dengan rasa air laut Pangandaran ^_^***

Babakan Pangandaran, 140910
Dimuat pada Tribun Jabar 2 Oktober 2010

Perjalanan ke Garut Selatan

Jumat pagi mendadak saya ingin mengajak istri saya marasakan pengalaman yang sering rasakan ketika saya masih belum menikah yaitu menjelajah daerah eksotis.Kami mempersiapkan perbekalan ala kadarnya, backpacker pisan lah. Perbekalan sudah dirasa cukup, selanjutnya mengecek kondisi motor agar tidak ada kendala di perjalanan.
Tepat dua minggu sejak pernikahan kami, kami melakukan perjalanan jauh dengan motor alias backpacker pertama kami menuju daerah Garut Selatan tepatnya Pameungpeuk. Jumat pagi sekitar pukul 8.30 pagi kami berangkat dari rumah menuju Pameungpeuk. Rencananya kami memilih jalan Panggalengan, Bungbulang, Pameungpeuk.
Sekitar pukul sepuluh pagi kami tiba di Pangalengan dan mampir sebentar ke SPBU untuk mengisi bahan bakar dan mengecek kondisi motor. 

Setalah selesai mengisi bahan bakar, perjalanan kami lanjutkan kembali menuju Situ Cileunca. Pemandangan indah terpampang didepan mata, dengan diiringi kabut tipis dan hujan kecil menemani perjalanan kami. Beberapa menit kemudian kami sampai di daerah pekebunan teh Pasir Malang, perkebunan ini sudah berdiri sejak jaman kolonial. Kami pun memutuskan untuk mengisi perut didaerah itu sambil menikmati pemandangan yg sangat indah.

Di daerah itu banyhak berjejer warung warung sederhana yang menjajakan makanan ringan seperti gorengan, mie, kopi. 

Saya mencicipi cemilan unik yaitu singkong (sampeu) goreng, yang bikin unik adalah singkongnya diparut dan dibentuk kotak lalu digoreng. sekilas mirip dengan Cipuk (aci kerupuk).

setelah mencicipi beberapa cemilan sekedar mengganjal perut karena sejak berangkat dari rumah saya belum sarapan. 
daerah Pasir Malang


Motor ku pacu lagi dengan kecepatan sedang karena jalan tidak memungkinkan untuk ngebut, kontur jalan yang berkelok kelok curam dan tanjakan menghadang. Sejak berangkat dari Pangalengan hujan menemani kami dan sesekali reda lalu turun lagi. Pukul 12 saya memberhentikan motor didaerah Talegong untuk menunaikan sholat Jum'at

Selesai sholat jum'at kami melanjutkan perjalanan dan hujan semakin deras menguyur kami, tetapi itu tidak menyurutkan perjalanan kami. Dalam deras hujan kami terus memacu motor sambil terus waspada karena daerah itu rawan longsor. 

Akhirnya hujan pun reda ketika kami memasuki daerah jalan Ranca Buaya. Turunan tajam dan berkelok pun harus dilalui tetapi dikejauhan bibir pantai laut selatan sudah mulai terlihat biru membentang sejauh mata memandang.

Ranca Buaya
 Lelah selama diperjalanan sedikitnya terbayar setelah melihat bibir pantai, setidaknya sudah tiga perempat perjalanan sudah dilalui.


Tidak lupa kami pun mengabadikan pemandangan itu di tempat yang sama ketika saya melalui jalan yang sama sekitar 3 tahun yang lalu. Pada waktu itu saya berangkat bersama kawan kawan klub motor yang saya bentuk (Sugih Biker Community). Tetapi tujuan utama kami sebenarnya buka ke Ranca Buaya tetapi ke Puncak Guha yang lokasinya tidak begitu jauh dari pantai Ranca Buaya

Sambil terus mengendarai motor, saya mencoba mengigat dimana lokasi Puncak Guha karena memang tidak ada petunjuk atau apapun menuju lokasi tersebut. Berbekal ingatan dan berdoa saya akhirnya menemukan lokasi tersebut walau sudah terlewat puluhan meter. Saya putar arah dan langsung menuju lokasi Puncak Guha. Lokasinya sebenernya tidak begitu sulit karena masuknya pingir jalan raya Ranca Buaya Pameungpeuk. Setelah melewati portal kami menelusuri kebun jagung dan kebun kacang tanah sebelum akhirnya sampai.
Puncak Guha

Sebuah pemandangan yang menakjubkan, kita bisa melihat langsung Samudera Hindia langsung dari sebuah Puncak Bukit karang. Pengalaman yang tidak terlupakan oleh kami. Di lokasi tersebut tidak ada siapapun kecuali kami berdua, serasa milik sendiri. Deburan ombak menerpa karang, angin yang berhembus kencang, sepi itulah sedikit gambaran keadaan Puncak Guha.



Kira kira kami hanya sekitar setengah jam saja disana karena tujuan kami masih jauh. Setelah puas walau sebenernya belum puas juga seh. Kami melanjutkan perjalanan menuju Pameungpeuk, sepanjang perjalanan dari puncak guha menuju Pamenungpeuk kami disuguhi bibir pantai. Seakan akan ini bukan di Garut. Tak lama berselang hujan pun kembali menguyur. 
Seperti lagu the doors "Riders on the strom" the show must go on, tetap tantap gas.